KodeMimpi - 13/10/2023 Tentara Israel mengambil posisi di dekat pangkalan militer Israel Har Dov di Gunung Hermon, sebuah pos strategis dan dibentengi di persimpangan jalan antara Israel, Lebanon, dan Suriah, pada 10 Oktober 2023. Serangan Israel di Lebanon menewaskan tiga anggota Hizbullah pada 10 Oktober di tengah meningkatnya ketegangan setelah militan Palestina mencoba menyusup ke Israel dari Lebanon, dalam sebuah eskalasi di perbatasan utara Israel, dua hari setelah militan Hamas melancarkan serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya ke sisi selatan negara itu dari Jalur Gaza yang diblokade. Kekhawatiran meningkat akan terjadinya perang dengan Israel di antara masyarakat Lebanon.
BEIRUT, KODEMIMPI.com - Kekhawatiran akan perang dengan Israel meningkat di antara masyarakat Lebanon setelah perang Hamas-Israel pecah sejak Sabtu (7/10/2023).
Di Lebanon, masyarakat bagaimanapun sudah tidak asing lagi dengan konflik.
"Jika harus ada perang, maka akan ada perang. Tahukah Anda berapa banyak perang yang telah kami lalui sejak saya masih hidup? Kami sudah terbiasa dengan itu," kata Ahmed Ali (55) kepada Al Jazeera di sebuah pusat transportasi di ibu kota Lebanon, Beirut.
Hanya dalam masa hidupnya, Lebanon telah mengalami perang saudara yang menghancurkan, konflik dengan Israel, pertempuran internal antara faksi-faksi bersenjata, dan limpahan dari perang di negara tetangganya, Suriah.
Namun, sejak kelompok Palestina Hamas melancarkan operasi yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel pada akhir pekan lalu, penduduk di Lebanon telah melihat dengan waswas.
Negara kecil di Levant yang berpenduduk hanya 6 juta jiwa ini berada di ambang konflik menyusul meningkatnya kekerasan lintas batas dengan Israel.
Pada Senin (9/10/2023), penembakan Israel dilaporkan telah menewaskan tiga anggota kelompok Hizbullah Lebanon.
Seorang wakil komandan Israel dan dua pejuang Palestina di Lebanon selatan juga dikatakan tewas.
Keesokan harinya, Hizbullah menembakkan peluru kendali ke arah kendaraan militer Israel. Israel membalas dengan menghantam sebuah pos pengamatan Hizbullah.
Eskalasi kekerasan ini telah memaksa ratusan warga Lebanon untuk tetap tinggal di dalam rumah mereka atau mengungsi ke pinggiran selatan Beirut.
"Sebagian besar tetangga dari kerabat saya telah meninggalkan rumah mereka (karena berhati-hati)," kata Zein Abdeen (21) kepada Al Jazeera.
"Mereka yang memiliki anak kecil segera pergi, tetapi para pemuda yang tinggal sendirian tetap tinggal. Mereka tidak takut," tambahnya.
Pada musim panas 2006, Hizbullah menangkap dua tentara Israel dengan tujuan untuk melakukan kesepakatan pertukaran tawanan dengan Israel. Namun, Israel merespons dengan mengebom rumah pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah, yang memicu perang selama 34 hari.
Konflik ini berakhir dengan jalan buntu dan menelan korban jiwa yang besar, yakni sekitar 1.100 warga Lebanon dan 165 warga Israel tewas.
Sebagaimana dilaporkan Al Jazeera, perang ini memberikan Hizbullah dorongan reputasi yang sangat besar di seluruh dunia Arab yang lebih luas karena kemampuannya untuk menahan serangan Israel dengan kecepatan penuh.
Namun, dihadapkan pada krisis keuangan yang akut selama bertahun-tahun, banyak pihak yang khawatir negara ini tidak akan mampu pulih dari perang habis-habisan dengan Israel. Saat itu sekitar 80 persen penduduk Lebanon dilaporkan hidup di bawah garis kemiskinan.
"Warga Palestina harus bebas. Mereka tidak boleh disiksa. Tapi kita harus mendukung mereka secara diplomatis, bukan secara militer," kata seorang pria Lebanon yang menyebut dirinya Abu George.
Setelah kehancuran infrastruktur Lebanon pada perang 2006, beberapa negara Teluk menyumbangkan sejumlah besar uang untuk memperbaiki negara tersebut. Arab Saudi menjanjikan paket bantuan sebesar 500 juta dollar AS dan mendepositokan 1 miliar dollar AS ke bank sentral Lebanon.
Namun, dengan negara-negara Teluk yang sama telah menarik sebagian besar dukungan mereka kepada Lebanon dalam beberapa tahun terakhir, karena marah atas hubungan Hizbullah dengan Iran, banyak warga Lebanon yang khawatir bahwa mereka tidak akan mendapatkan dukungan seperti itu lagi.
"Saya takut akan kemungkinan bahwa kita akan berperang. Di masa lalu, ada banyak orang yang membantu Lebanon. Tapi sekarang, siapa yang akan membantu kami?" tanya Abu George.
Tidak semua orang di Lebanon memiliki ketakutan yang sama terhadap apa yang akan terjadi jika perang pecah.
Rasa frustrasi terhadap situasi ekonomi Lebanon membuat beberapa orang Lebanon berpikir bahwa keadaan tidak bisa menjadi lebih buruk lagi.
Pada 2021, Bank Dunia mengklasifikasikan ledakan ekonomi Lebanon sebagai salah satu krisis terburuk sejak abad ke-19.
Pada bulan Juni tahun lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan bahwa "kepentingan pribadi" berada di balik kelas politik Lebanon yang menolak reformasi ekonomi yang krusial.
Sejak tahun 2019, mata uang Lebanon telah kehilangan sekitar 98 persen nilainya sementara produk domestik bruto (PDB) telah menyusut sebesar 40 persen.
"Siapa yang peduli dengan perang?" ujar Mohamad Aziz ketika ia menunggu di sebuah pusat transportasi di Beirut.
"Kami tidak mampu untuk hidup, makan, atau minum," tambahnya.